Ekspektasi VS Realita Dalam Berumah Tangga

Home ยป Ekspektasi VS Realita Dalam Berumah Tangga

Tulisan ini berawal dari status seorang teman yang setahun terakhir membina biduk rumah tangga. Di statusnya ada nada yang mengatakan ia ingin hidup bahagia selayaknya masa lajang. Saya jadi teringat bagaimana keinginannya menikah dulu begitu menggebu. Setiap ada permasalahan, entah ada hubungan atau tidak dengan statusnya maka solusinya Cuma satu, menikah. Mungkin dia telah terinveksi Cinderella Syndrome yang membayangkan pernikahan adalah awal dari bahagia selamanya. Teman saya bisa jadi adalah satu dari sekian juta wanita yang berekspektasi bahagia dalam rumah tangga. Tak ada salahnya, malah ekspektasi itu menjadikan seorang yang masih lajang untuk segera ke gerbang perniikahan. Permasalahan justru muncul ketika hanya membayangkan bahagianya saja tanpa memikirkan suka dan duka. Selayaknya mata uang yang selalu beriringan, bahagia dan duka, senang dan permasalahan juga ada dalam rumah tangga. Baca juga : Tips berdamai dengan Mertua

Suami yang tidak peka.

Di tahun awal berumah tangga adalah masa yang krusial. Mengapa saya bilang demikian, karena masa itulah masa penyesuaian dari yang awalnya hidup sendiri harus bersama suami, dari yang bebas kesana kemari jadi harus ijin suami dan masih banyak lagi. Meskipun sebelum melangkahkan kaki pada bangunan rumah tangga dengan berpacaran dulu misalnya, tetap saja karakter asli seseorang tetap terlihat setelah berumah tangga. Disinilah awalnya seorang wanita berespektasi jika berumah tangga nantinya lebih memahami sifat sang suami dan begitu sebaliknya. Tapi realitanya saat terjadi ketidakcocokan maka sang suami seolah tak peduli tentu membuat sangat kesal.

Suami mau membantu urusan rumah tangga.

Suami pasti ssetuju jika namanya pekerjaan rumah tiada akhirnya. Apalagi yang memiliki anak kecil, tentu tugas istri menjadi lebih banyak. Tentu setiap wanita berekspektasi pekerjaan rumah tangganya juga di bantu oleh suami sebagai mitra dalam berumah tangga. Tak selama apa yang dipikirkan benar- benar menjadi realita. Tak sedikit suami justru membuat batasan tugas dalam rumah tangga. Suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pelaksana di dalam rumah tangga. Realita semacam ini kadang membuat seorang istri merasa apa yang diimpikan sebelum menikah tentang indahnya  pernikahan hanya tinggal kenangan.  

Perekonomian rumah tangga stabil

Namanya biduk rumah tangga selalu saja ada gelombangnya. Dan pelaut yang tangguhlah yang bisa menaklukkan gelombang bahkan badai sekalipun yang datang. Begitulah orang banyak menganalogikan rumah tangga ibarat sebuah kapal yang berlayar di samudera. Ada pasang surutnya, termasuk masalah perekonomian keluarga. Tak dipungkiri semua menginginkan hidup berkecukupan dalam rumah tangga. Tapi tak selama seseorang berada di atas selamanya. Ketika berada di bawahlah sesungguhnya sebuah cobaan dalam rumah tangga. Dan bagi yang bereksptasi hidup bahagia selamanya bak Cinderella mau tak mau harus menerima realita. Jika poin diatas menyatakan bahwa banyak ekspektasi yang tak sesuai dengan realita dalam berumah tangga, jadi apa bahagianya sebuah pernikahan?. Bagi saya yang baru empat tahun dalam pernikahan justru melalui berumah tangga kita menemukan hidup sesungguhnya. Apalagi ketika kehadiran buah hati akan semakin menentramkan hari. Mungkin kebahagian dan ketentraman itulah yang selalu disebut sebagai Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah dalam pernikahan.

4 thoughts on “Ekspektasi VS Realita Dalam Berumah Tangga”

  1. Yaaa kalau belum menikah emang ekspetasinya ya bagus2. :'D Setelah menikah, memang ada saja masalah yang bakal datang, dan ada beberapa hal yang jauh dari ekspetasi. Namun, justru di situlah serunya berumah tangga.

    Reply
  2. Kalau ada buah hati, memang segala pikiran negatif bisa dikesampingkan. ๐Ÿ™‚ Yang penting hanya anak dan untuk anak. ๐Ÿ˜€

    Reply

Leave a Comment