Hari ini saya dihadapkan pada sebuah kenyataan pernikahan. Tiga pasangan, dua tempat dan satu kesimpulan. Tidak ada yang kebetulan. Tentang tiga pasangan yang dari segi sifat kelihatan sangat berbeda, namun kenyataannya mereka membina rumah tangga yang telah berjalan cukup lama. Tentang dua tempat, yaitu rumah dan toko. Hunian dan tempat mencari penghidupan. Dan tentang satu kesimpulan, bahwa pasangan adalah ibarat botol dengan tutupnya. Seperti tak seirama. Botol yang besar, dan tutup kecil yang dibutuhkn di ujung botol. Namun keduanya saling membutuhkan, saling melengkapi dan tidak tergantikan.
Kita sering menemukan pasangan yang seolah berbalik seratus delapan puluh derajat. Misalkan sang istri yang sangat cerewet sedangkan sang suami begitu pendiam. Sampai- sampai harus diketuk palu dahulu untuk mengeluarkan sepatah kata. Atau dalam segi rupa. Si suami yang biasa saja, sedangkan sang istri cantik jelita. Seperti ada ketidakserasian namun nyatanya rumah tangga mereka dapat bertahan hingga maut memisahkan.
Justru warna yang berbeda itulah yang kadang diperlukan untuk membuat sebuah pelangi pernikahan menjadi indah. Mengelola perbedaan sehingga menjadi kekuatan dalam rumah tangga. Mau menerima pasangan sepaket kelebihan dan kekurangannya menjadi kunci utama. Jadi sekufu (sederajat) tak perlu dong kalau begitu?, kan bisa saling melengkapi.
Sekufu dan saling melengkapi adalah dua faktor pernikahan yang susah untuk dipisahkan. Dalam hal sifat bisa saling melengkapi. Namun ada hal yang lain pasangan harus sekufu (seimbang). Misalkan tingkat pendidikan/ pemikiran. Ini penting sekali. Logikanya begini. Misalkan saja orang yang lulus kuliahan menikah dengan yang lulus SD, akan jauh cara berpikirnya. Akan susah dipertemukan dalam menghadapi permasahan. Bisa saja sih, namun diperlukan kesadaran yang besar dari kedua belah pihak untuk saling mengakui dan menerima kekurangan dan kelemahan. Atau dari segi latar belakang keluarga. Rata- rata yang saya temui adalah keluarga kaya, berpendidikan, priyayi, dan lain sebagainya akan mendapatkan pasangan yang setara. Salah satu alasan jarang sekali terjadi si upik abu menikah dengan pangeran seperti kisah dongeng “Dan akhirnya mereka berdua bahagia selamanya”, adalah kemudahan dalam adaptasi. Bagaimanapun menikah adalah penyatuan dua keluarga. Bisa saja si pasangan menyesuaikan, namun apakah keluarganya bisa. Akan terjadi semacam jurang ketidakselarasan dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Okey, bagi yang telah berumah tangga tulisan ini bisa jadi semacam kaca bahwa pasangan kita adalah yang terbaik untuk kita. Tidak perlu melirik pasangan lain. Karena pasangan tersebut bukan tutup botol kita yang mampu menutupi dan menerima kekurangan serta kelebihan kita.
La Ternyata pesanya cumak buat/bagi yang berumah tangga saja, yang belum berumah tangga mana Kok kosong bikin terharu saja saya . Hewhewhehw
yang belum berumah tangga di episode, eh postingan selnjutnya ya..
Benar, Mbak, walaupun tak selamanya sekufu (sepadan/seimbang) menjadi jaminan kesuksesan berumah tangga, tetap mutlak dipertimbangkan. Apa yang terjadi antara Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy mungkin bisa menjadi salah satu tamsilnya, ya.
*) Kalau istri saya bukan lagi sekufu, Mbak, tapi malah sekelas. Cinlok. 🙂