Mengawali tulisan di bulan Agustus ini di buka tentang kemerdekaan. Rasanya semua pojok daerah sudah penuh dengan warna warni merah putih. Ya, bulan Agustus bagi kita bangsa Indonesia selalu diidentikan dengan kemerdekaan. Maka sebagai cara memperingatinya berbagai cara orang lakukan. Dari mulai aneka lomba anak sampai lomba untuk orang dewasa, tumpengan, jalan sehat sampai yang tidak pernah ketinggalan yaitu pawai budaya atau karnaval.
Ingatanku kembali dijaman kecil dulu. Setiap Agustusan pasti aku dan teman-teman mencari tahu kapan karnaval kecamatan diadakan. Di karnaval kecamatan inilah dapat melihat banyak kreasi serta aneka pertunjukkan yang lengkap. Bahkan biasanya sangking banyak peserta yang ikut, acara yang dimulai selepas dhuhur akan selesai habis magrib. Itu artinya akan banyak cerita yang kami bagi dengan sesame teman disekolah besok harinya. Yang tidak lihat, siap-siap mendengarkan saja dan iri terhadap apa yang kami lihat di karnaval itu.
Tidak mengherankan jika kemudian aku akan merayu Bapak untuk mengantarku dan kakak melihat. Jauh hari aku akan menginfokan pada bapak agar beliau bisa tidak bekerja pada hari H dan mengantar kami. Sebenarnya bapak tipe orang yang sayang pada anaknya dan menuruti keinginan anaknya selama beliau bisa. Namun kondisi kesehatan beliau yang kadang sakit tiba- tiba tidak mungkin bisa mengabulkan keinginan kami.
Aku ingat, 2 kali bapak mengantarkan kami melihat karnaval. Waktu itu aku masih kelas 2 SD sedangkan Mbakku kelas 5. Dengan menggunakan sepeda ontel kami dibonceng bersama. Dengan bersepeda sekitar 30 menit tentu cukup melelahkan bapak. Belum lagi, jalan masih yang berbatu karena proses pengaspalan belum dilakukan. Tidak jarang kadang kita dibonceng dalam kondisi tidak seimbang dan hampir jatuh. Meskipun ada perasaan sedikit takut tapi sepanjang jalan bapak akan mengajak kami bercerita. Selain menghindari agar kami tak jenuh selama perjalanan, juga menunjukkan apapun yang kami lewati. Karena jarang bisa membonceng kami berdua maka biasanya bapak akan mencari jalan berbeda ketika berangkat dan pergi sehingga memberi pengalaman kami lebih banyak.
Karnaval di daerah kami selalu identik dengan jaranan. Jaranan sendiri merupakan orang yang diberikan mantra khusus sehingga hilang dari kesadarannya. Tidak jarang jaranan akan makan ayam mentah, makan kaca atau yang menakutkan mengamuk di tengah jalan. Kalau sudah begitu kami akan mundur dan ketakutan. Di situlah peran bapak akan menjaga kami, dan mengajak kami mencari tempat yang aman. Dalam artian tetap bisa melihat tapi jauh dari jalan yang dilalui jaranan.
Pulangnya Bapak selalu membelikan kami jajan mainan. Saya ingat benar, andalan jajan yang Bapak belikan yaitu roti marie. Jika ada yang berpikir “ah, hanya roti marie. Saya aja tidak suka”. Jika hal itu terjadi sekarang tentu tidak ada yang istimewa. Namun di jaman dahulu, atau dua lima tahun lalu, roti itu barang langka. Kami hanya menemuinya di toko besar yang di desa pun hanya satu toko yang menjualnya. Masalah harga demikian pula. Terlalu mahal bagi kami. Sehingga mendapatkan rotie mari hanya saat-saat yang bisa dikatakan istimewa saja.
Kisah bulan Agustus dengan Bapak cukup membekas pada kami. Ya, karena Bapak sering diuji dengan sakit maka bisa dibonceng serta beliau dalam keadaan sehat sesuatu yang langka. Dan tiap kali Agustus tiba, aku dan kakakku akan mengingat kisah ini. Meski sekarang Beliau telah berada di sisiNya, setiap bulan Agustus tiba lagi- lagi kami menceritakannya. Termasuk sekarang aku tuliskan pada blog pribadi ini.