Saat memasuki gerbang pernikahan wanita menghadapi sebuah kehidupan barunya. Sebelumnya orang tua adalah yang utama untuk ditaati (bukan melanggar ketentuanNya). Peran itu kemudian tergantikan dengan hadirnya sang suami yang selanjudnya menjadi imam bagi dirinya.
Selayaknya nahkoda dalam sebuah kapal di samudera kehidupan, sang suami ingin membawa bahtera sampai pada dermaga bahagia. Berbagai aturan dan keinginan pun dibuat dengan kesepakatan bersama agar tercipta keharmonisan keluarga.
Suatu hal yang wajar jika sang suami ingin sambutan istri ketika pulang bekerja. Tersedianya masakan kesukaan di meja, merawat buah hati mereka hingga memuaskan nalurinya. Akan sangat berbeda jadinya jika sang istri juga bekerja, apalagi dalam rentang jam kerja yang panjang serta masuk setiap harinya. Jangankan untuk menyelesaikan urusan domestik rumah tangga, sekedar bertemu pasangan saja bisa sesuatu yang langka *curcol lol. Sehingga pada titik tertentu, istri harus kembali pada perannya di rumah.Ya, seorang ibu rumah tangga sepenuhnya.
Tentang perdebatan ibu bekerja atau ibu rumah tangga sepenuhnya, kembali lagi saya menggaris bawahi bahwa itu tergantung pada “dapur” rumah tangga, kondisi, serta pemahaman masing- masing pribadi. Bersifat relatif. Tidak bisa menjadi suatu generalisasi.
Kemarin saya minta pendapat kepada teman baru saya, Mbak Amma a.k.a Mbak Rahmah Chemist. Bagi yang aktif ngeblog, tentu tak asing dengan nama yang satu ini. Sebelum mengikuti sang suami berhijrah ke Surabaya Mbak Amma merupakan seorang dosen di sebuah universitas di Palangkaraya. Dengan latar pendidikan S2 bidang kimia seperti yang melekat di belakang namanya tak heran bisa menduduki posisi pengajar bagi mahsiswanya. Karena permintaan sang suami menginginkan sang istri tidak capek karena aktifitas di luar rumah ( so sweet kan J ), serta ingin mengasuh sepenuhnya Salfa buah hatinya, Mbak Amma memutuskan untuk berhenti menjadi dosen.
Keputusan itu kadang seperti buah simalakama. Bisa membahagiakan di satu pihak namun juga “kekecewaan” dipihak lainnya. Seperti seorang anak pada umumnya, adalah kebahagiaan bisa memenuhi harapan orang tua. Apalagi jika orang tua telah mempunyai ekspektasi dengan menyekolahkan sampai di perguruan tinggi. Istilahnya emak saya, agar anaknya bisa menjadi “orang”. Namun kemudian berhenti dan memutuskan mengurus rumah tangga yang dari sebagian orang masih dianggap sesuatu yang kurang “berguna”. Rasa seperti itulah yang dirasakan Mbak Amma kepada sang ayahnya dengan keputusannya.
Bukan suatu yang buruk bahkan akan menjadi lompatan bagi yang bisa “berhijrah”. Bukan hanya hijrah tempat dari Palangkaraya ke Surabaya, dari dosen menjadi ibu rumah tangga namun juga dari blogger biasa menjadi blogger yang menginspirasi bagi lainnya. Termasuk saya yang juga terinspirasi beberpa tulisan Mbak Amma. Melalui beberapa blognya Mbak Amma banyak berbagi tentang ilmu, pengalaman serta cerita. Termasuk tentang blog yang membahas khusus parenting yaitu Istana Cinta. Selain di dunia maya, Mbak Amma juga secara offline membagikan ilmunya terutama tentang blog di berbagai tempat. Dua terakhir yang sempat teramati oleh saya, yaitu menjadi pemateri di Universitas Airlangga Surabaya, juga pemateri di Roadblog City di Bojonegoro.
Ada banyak jalan menuju Roma, begitulah pepatah bicara. Dan banyak cara juga mengamalkan apa yang kita punya. Tak harus di depan kelas dengan gelar sebagai dosen atau guru. Mengajar bisa dimanapun dan kapanpun asalkan apa yang diberikan membawa kemanfaatan. Saya rasa, Mbak Amma telah memenuhi kriteria, dan juga harapan sang ayah juga terbayarkan. Mbak Amma sekarang bukan hanya menjadi pengajar/dosen di diperguruan tinggi, namun melalui blog khususnya Mbak Amma telah menjadi bukan “dosen” biasa yang dapat berbagi untuk seluruh negeri.
Namun sayang kebanyakan masyarakat kita masih mengeneralisasi perbedaan ibu bekerja dan tidak bekerja (red:kantoran).
Nice thought mba 🙂
masyarakat mah gitu Mbak Nining.. apa-apa aja diomongin. Lah aku kan bagian di dalam masyarakat juga ya :v
IMHO, semua keputusan itu ditangan kita sendiri. Karena efeknya diri sendiri yang merasakan… Orang lain gampang memberi komentar karena tidak berada dalam situasi yang sama persis. Setiap orang punya kehidupan dan masalah masing2… Jadi ibu RT dan ibu bekerja punya cerita sendiri2… Syukur Rahma menemukan jalannya untuk berbagi ilmu ke kalangan yang lebih luas lagi.
Ah ya, IRT sering dipandang sebelah mata. #sedih