Selayaknya berlayar, tak seorang pun ingin bahtera yang di tumpanginya karam. Begitu juga sebuah rumah tangga, tidak ada satupun yang menginginkan runtuh begitu saja apapun penyebabnya, sehingga pada akhirnya kata perpisahan memjadi titik akhir kebersamaan. Karena bagaimanapun, ketika berkomitmen untuk mengucapkan janji suci yang saksinya adalah penghuni langit dan bumi, ikatan untuk hidup bersama dengan segala rintangannya telah tertalikan sampai maut memisahkan. Namun, patut disadari dengan berjalannya waktu konflik maupun ujian pernikahan adalah suatu keniscayaan. Banyak orang yang melewati kerikil atau batu yang menghalangi perjalanan pernikahan dengan mudah sehingga hadiah manis sebuah kemesraan pada pasangan semakin besar. Tetapi ada beberapa orang yang telah sekuat tenaga mempertahankan biduk pernikahannya namun tetap saja perceraian adalah jalan terbaik bagi mereka.
Gambar dari sini |
Saya mengenalnya, sebut saja namanya mbk fi sekitar setahun yang lalu. Perempuan sederhana yang menjajakan barang apa saja keliling kampung untuk menyambung hidup diri dan ibunya. Sekilas tidak ada yang istimewa ketika melihatnya. Hanya wanita paruh baya, dengan keadaan fisik yang biasa saja, Ternyata wanita yang telah berkepala empat tersebut punya kisah luar biasa tentang kehidupan rumah tangganya.
Tidak mencari laki- laki sempurna sebagai pendampingnya bagi kami adalah keputusan mbak fi yang besar. Seorang narbot mushola dengan kekurangan fisik tak menjadi halangan bagi mbak fi menyerahkan hidupnya untuk mengabdi sebagai istri. Meskipun mbak Fi tahu konsekuensi dari keputusannya, yaitu ia akan menjadi tulang punggung keluarga barunya serta sang ibu. Karena bagaimana pun mbak Fi adalah anak satu-satunya. Sedangkan kekurangan fisik sang suami menjadikannya tak bisa lebih keras bekerja, bahkan hanya sekedar menutupi kebutuhan sehari- hari.
Tak selamanya perjuangan seorang istri, atau tepatnya keikhlasannya akan berbalas manis pula dari sang suami. Dan, demikianlah mbak Fi alami. Sang suami merasa seolah harga dirinya di depannya istrinya tidak ada. Apalagi kondisi ibu mbak Fi yang sakit- sakitan memaksa mbak Fi harus bolak balik merawat ibunya dan ke rumah orang tua sang suami yang jaraknya cukup jauh dengan mengayuh ontel butut. Puncaknya ketika mbak Fi di hadapkan oleh pilihan sang suami yaitu dengan terus mengikuti perintah nya untuk tinggal di rumah suami atau merawat sang ibu. Seperti simalakama, dua hal yang sangat berharga bagi mbak Fi. Dilain sisi ia tahu setelah menikah, pengabdian wanita adalah pada suaminya yang lebih utama dari pada kedua orang tuanya, sedangkan di lain sisi sebagai anak satu- satunya mbak Fi bertanggung jawab terhadap sang ibu. Akhirnya ia memutuskan memilih sang ibu, karena bagaimanapun yang sekarang membutuhkan dirinya adalah ibunya.
Setiap melihatnya saya punya seperti terisi kembali rasa syukur untuk bisa mengabdi kepada suami tanpa harus menelan pahitnya buah simalakama. Sebagai rasa terima kasih kepada mbak fi, kadang saya membeli barang apa saja yang di jual walaupun saya tak membutuhkannya. Ya, kadang kita perlu di “cubit” dengan realita kondisi orang lain di sekitar kita sehingga dapat bersyukur terhadap hidup indah yang telah Allah berikan.
Berarti Mbak Fi akhirnya bercerai dengan suaminya itu, ya? Sungguh sebuah pilihan yang sangat berat.
Hemmm….cerita yg mengharukan
lakinya juga gak mikir apa,, gak kasian ama ibu mertuanya
kacau..