Sudah menjadi tabiat manusia untuk selalu berdebat. Entah itu untuk urusan yang memang harus di cari penyelesaiannya sehingga perdebatan diperlukan atau hanya debat kusir yang tak tahu pangkal dan ujungnya. Yang jelas, sudah menjadi sunatullah adanya perbedaan di muka bumi ini, begitu juga perbedaan paradigma seseorang dalam melihat sesuatu. Semua itu pengaruh dari intelektualitas, lingkungan serta filosofi hidup seseorang. Kalau sudah begitu, akan berlaku hukum relatif tentang suatu, kecuali syari’at yang pokok yang telah ditentukanNya.
Saat melihat lukisan, Si A akan berteriak “indah sekali”, sedangkan si B hanya diam tanpa ekspresi karena baginya hanya coretan tanpa arti yang katanya itu adalah lukisan abstrak. Keindahan sangat relatif orang melihatnya, sehingga tak selayaknya memaksakan pendapat. Misalnya ketika sekarang sedang ramai pemilukada. Kader dan simpatisan bisa mati-matian membela partainya. Menurut mereka partai atau calon mereka adalah yang terbaik. Terbaik disini relatif, karena dari kaca mata apa kebaikan itu dilihat. Sehingga jika diantara mereka saling “ngotot” dalam kebaikan menurut mereka yang ada malah akan ada pertengkaran dan hilangnya sikap saling menghargai.
Itu masalah Politik yang kadang membuat hati, telinga dan mata panas melihatnya. Terus bagaimana kalau beberapa kali orang memanggil saya “Abang atau Mas” karena nama saya Anis?. Apakah itu di sebut relatif juga karena merasa dilingkungannya atau orang yang terkenal bernama anis (Anis Baswedan, Anis Matta) adalah seorang laki- laki. Atau, bukan karena lingkungan orang tersebut menganggap saya laki- laki karena faktor nama, namun nama saya saja yang ambigu sehingga mengaburkan pemaknaan seseorang terhadap gender?. Memang Anis sendiri bisa di pakai nama laki-laki, sedangkan wanita nya anisa. Namun, tak sedikit pula orang yang saya ketahui bernama anis adalah perempuan. Ada juga nama lain akan di pertanyakan kelanjutannya perempuan atau laki-laki jika berdiri sendiri seperti Eka, Dwi, dll. Karena nama tersebut juga ambigu bisa dipakai laki- laki dan perempuan.
Itulah mengapa perbedaan yang ada dalam cara pandang sesuatu bukan jadi alasan untuk berpecah belah, namun menjadi khasanah pengetahuan yang saling melengkapi, meskipun kadang apa yang menjadi perbedaan itu masih ambigu.
sepakat nih dgn endingnya, sayang juga krn hanya krn perbedaan hrs terpecah belah
Btw, sdh baca imelku yg kukirim kemarin apa belum ya ? trims 🙂
Mbak Ely : trima kasih kunjungannya..sip mbak udah di baca 🙂