Melihat semua sempurna dan sesuai keinginan memang sangat menyenangkan. Tapi tak semua orang bisa merasa senang jika kesempurnaan yang diinginkan. Apalagi bagi orang lain, termasuk saya yang orangnya spontan dan tak terlalu rapi, bersama orang perfeksionis sangat menyiksa. Dasar saya, yang easy going dan kurang memperhatikan detail, Meski ada kekurangan terhadap apa yang aku inginkan selama bisa di tolerir mengapa tak diambil. Berbeda ketika sebelum lebaran mengantar kakak perempuanku yang perfeksionis sekali. Ketika itu tentu sedang bulan Ramadhan dan saya otomatis menjadi sopirnya, karena bagaimanapun mbak ku tidak terlalu berani untuk berkendara di jalan raya. Sebagai persiapan kita berangkat lebih siang, sehingga diharapkan tidak kemalaman karena saya juga paham akan sangat lama untuk bisa menemukan apa yang diinginkannya. Selalu ada cacat dan kurang beginilah-begitulah menjadi alasannya. Mulailah penjelajahan mencari barang keininan, dari satu toko ke toko lainnya. Ketika memilih di toko satu, dua, tiga tidak cocok saya maklumi, tapi setelah empat dan akhirnya sampai toko ketujuh, rasa gemes mulai menjangkiti. Bagaimana tidak dari sebelum jam tiga sore sampai setelah buka puasa tak satu pun kita menemukan barang yang pas dengan seleranya, alias nihil. Dan itu pun nihil kita tak dapat ssama sekali barang yang diingatkan. Karena saya emosi plus malu dah keluar masuk sekian toko tanpa membawa barang apapun, langsung saja saya menodong dibelikan baju, itung- itung bisa mengobati mengucap maaf berkali ke SPG toko yang kami datangi, karena tak jadi membeli. Lain lagi temanku, kalau sudah urusan pekerjaannya semua harus rapi dan sempurna menurut dia. Tak heran ketika ada teman yang berniat membantu malah ujung-ujungnya bukan pahala yang di dapat, malah sakit hati karena bantuannya tidak di hargai. Sampai suatu ketika harus ada “ramai” kecil ketika harus bekerja secara jama’ah. Maklum menuntut kesempurnaan yang terlalu berlebihan kadang memberatkan orang lain, dan juga diri sendiri tentunya. Bagaimana tidak, pekerjaan yang telah di kerjakan orang harus dia perbaiki kembali akan bisa sempurna menurut ukurannya. Namun, bukan berarti dari cerita saya bahwa orang perfeksionis cenderung bersikap negatif, tidak juga. Sudah sunatullah, ada kelebihan dan kekurangan. Kelebihan mereka diantaranya yang paling saya rasakan yang hidup di sekitar si perfeksionis adalah ambisi mereka yang sangat kuat untuk mewujudkan cita-cita mereka. Tak pantang mundur deh sampai keinginan berada di tangan. Dan yang patut di banggakan, mereka loyal banget dengan pekerjaannya yang mereka miliki. Mungkin, sudut pandang saya menilai orang perfeksionis sangat subjektif. Tapi penilaian adalah relatif, dari kaca mana orang memandangnya dan sejauh mana pengalaman orang tersebut tentang suatu masalah. Sepertinya, kita harus banyak menilai diri kita sendiri, sebelum penilaian kita jatuh pada orang lain. Tak pantas rasanya jika pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampah, kuman di dasar lautan terlihat” masih bersemanyam kuat di dalam diri kita.
Artikel Terbaru